Asian Development Bank (ADB) Institute menilai para pelaku usaha Indonesia masih enggan memanfaatkan free trade areas
(FTAs). "Sebanyak 85,3 persen enggan karena kekurangan informasi
tentang FTAs," ujar Director of Research ADB Institute, Ganeshan
Wignarajan, dalam paparannya di simposium Indonesia-Japan Relations and
Economic Integration in East Asia (Beyond Asean Economic Community),
Senin, 4 Maret 2013.
Sebanyak 30,5 persen dari 95 responden lebih memilih untuk menggunakan skema lain, misalnya economic processing zone, dibanding FTAs. Proses dokumentasi ekspor yang terhambat juga menjadi alasan 25,3 persen responden untuk tidak memanfaatkan FTAs. Kompleksnya peraturan dalam negeri dianggap 23,2 persen reponden sebagai faktor untuk tidak masuk dalam FTAs.
Selain itu, kata Ganeshan, para pelaku tidak tertarik untuk melakukan perdagangan dengan partner internasional, tidak melihat pentingnya FTAs, tidak ada dukungan dari pihak manajemen, kecilnya margin, serta ukuran nontarif yang dipakai partner dalam FTAs.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Syarifuddin Hasan, menyatakan para pelaku UKM dalam negeri harus siap menghadapi persaingan di Asean Economic Community. "Kadang pelaku kita ke luar negeri, promosi. Begitu dapat order, pulang menjadi bingung," ucapnya.
Para pelaku UKM dalam negeri itu, kata dia, masih menghadapi kendala dalam permodalan dan sumber daya manusia. Hal tersebut, dinilai Syarifuddin, mampu memperlambat pengiriman produk kepada pembeli di luar negeri. Ia mengatakan keterlambatan itu akan merusak citra Indonesia.
"Saya cenderung fokus ke pasar dalam negeri," ujarnya. Syarifuddin menuturkan, yang terpenting, para pelaku UKM Indonesia menjadi market leader di pasar dalam negeri. Ia menyebut pasar dalam negeri sangat luas.
Bahkan, menurut dia, para pelaku UKM asing berusaha masuk ke pasar dalam dalam negeri Indonesia. Ia mengatakan Indonesia memiliki kekuatan dalam furniture serta handicraft. Menurut dia, para pelaku UKM Indonesia mampu mengasilkan furniture dan handicraft dengan sentuhan budaya yang tidak dimiliki pelaku UKM asing.
Sebanyak 30,5 persen dari 95 responden lebih memilih untuk menggunakan skema lain, misalnya economic processing zone, dibanding FTAs. Proses dokumentasi ekspor yang terhambat juga menjadi alasan 25,3 persen responden untuk tidak memanfaatkan FTAs. Kompleksnya peraturan dalam negeri dianggap 23,2 persen reponden sebagai faktor untuk tidak masuk dalam FTAs.
Selain itu, kata Ganeshan, para pelaku tidak tertarik untuk melakukan perdagangan dengan partner internasional, tidak melihat pentingnya FTAs, tidak ada dukungan dari pihak manajemen, kecilnya margin, serta ukuran nontarif yang dipakai partner dalam FTAs.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Syarifuddin Hasan, menyatakan para pelaku UKM dalam negeri harus siap menghadapi persaingan di Asean Economic Community. "Kadang pelaku kita ke luar negeri, promosi. Begitu dapat order, pulang menjadi bingung," ucapnya.
Para pelaku UKM dalam negeri itu, kata dia, masih menghadapi kendala dalam permodalan dan sumber daya manusia. Hal tersebut, dinilai Syarifuddin, mampu memperlambat pengiriman produk kepada pembeli di luar negeri. Ia mengatakan keterlambatan itu akan merusak citra Indonesia.
"Saya cenderung fokus ke pasar dalam negeri," ujarnya. Syarifuddin menuturkan, yang terpenting, para pelaku UKM Indonesia menjadi market leader di pasar dalam negeri. Ia menyebut pasar dalam negeri sangat luas.
Bahkan, menurut dia, para pelaku UKM asing berusaha masuk ke pasar dalam dalam negeri Indonesia. Ia mengatakan Indonesia memiliki kekuatan dalam furniture serta handicraft. Menurut dia, para pelaku UKM Indonesia mampu mengasilkan furniture dan handicraft dengan sentuhan budaya yang tidak dimiliki pelaku UKM asing.
No comments:
Post a Comment